fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan
Padaperayaan Tahun Baru China (Imlek) 2561, The Majapahit Center bekerjasama dengan Badan Dana Punia Hindu Nasional dan Forum Kebangkitan Siwa Budha menyelenggarakan acara peringatan yang bertempat di Wantilan Tanah Kilap. Kegiatan ini sebagai bentuk rasa toleransi masyarakat sekitar. Bahkan acara yang dihadiri oleh ratusan peserta umat Budha ini berlangsung baik dan sarat makna, terlebih
Berikuttujuh bukti toleransi yang ditunjukkan oleh umat beragama kepada penganut agama lainnya. 1. Dalai Lama mendesak para penganut Buddha untuk melindungi umat Muslim. scmp.com. Pada tahun 2014, kekerasan terhadap umat Muslim Rohingya pecah dan menyebar ke seluruh wilayah Myanmar dan Sri Lanka. Ironisnya, hal ini terjadi di negara-negara
KehidupanPolitik. Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa pemerintahan raja-raja berikut ini. 1) Raden Wijaya (1293-1309) Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sebagai seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri
8 Adanya toleransi antar umat beragama berbeda. 1. Setiap Orang Bebas Memeluk Agama Tertentu. Kebebasan memeluk agama tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar pasal 28E ayat (1) yang di dalamnya disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama. Selain itu, pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga menjamin kebebasan beragama.
TopPDF Toleransi Beragama Dalam Praktik Sosial: Studi Kasus Hubungan Mayoritas Dan Minoritas Agama Di Kabupaten Buleleng dikompilasi oleh perlindungan hak asasi manusia sebagai negara yang masih belum menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia terutama dalam kebebasan beragama. Fenomena yang sering disoroti adalah masalah
Reiche Frau Sucht Mann Zum Heiraten. Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Yogyakarta02 Maret 2022 1036Halo Rahmat S. Kakak bantu jawab ya Tiga fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan adalah Rakai Panangkaran Hindu memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi, Rakai Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha komunitas Buddha, serta posisi Candi Borobudur yang dikelilingi oleh candi-candi Hindu seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi. Berikut penjelasannya ya. Dalam soal agama, raja-raja di Pulau Jawa terkenal memiliki sikap yang toleransi. Hal ini dikarenakan terlihat dari adanya berbagai aliran agama serta suku bangsa hidup berdampingan dengan damai serta bebas mendirikan rumah-rumah ibadat serta tempat pemujaan candi. Misalnya terlihat dalam Kerajaan Mataram Kuno. Menurut Prasasti Kalasan 778, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi dengan menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha komunitas Buddha, untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara. Soekmono berpendapat bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dalam pembangunan Candi Borobudur masa pemerintahan Raja Samaratungga 824 M yang melibatkan para pemeluk agama hindu di wilayah kedu. Dengan melihat posisi Candi Borobudur yang dikelilingi oleh candi-candi Hindu seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi. Semoga bermanfaatŸ˜Š
- Sejarah peradaban Nusantara tidak dapat dilepaskan dari riwayat Kerajaan Majapahit. Kemaharajaan Majapahit adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang meninggalkan cukup banyak situs candi atau bangunan suci untuk kepentingan Kitab Negarakertagama seperti yang diterjemahkan oleh Theodore Gauthier Pigeaud dalam “Java in the 14th Century, A Study in Cultural History The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit 1365 AD” 1962, kekuasaan Majapahit terbentang dari Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur. Berdiri pada 1293, Kerajaan Majapahit merengkuh masa kejayaan pada era pemerintahan Hayam Wuruk 1350-1389 dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Sepeninggal dua pemimpin ini, Majapahit mulai mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada 1478 akibat serangan dari Kesultanan di Kerajaan Majapahit Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1991 menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Mayoritas penduduk Kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah amat luas di Nusantara memeluk agama Hindu, Buddha, atau ajaran Siwa-Buddha, meskipun ada pula yang masih menganut kepercayaan leluhur yakni Kejawen atau Animisme. Ajaran Siwa-Buddha merupakan sinkretisme atau percampuran dari agama Hindu dan Buddha di Nusantara. Di era Majapahit, ajaran yang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno ini berpadu menjadi satu. Hasil penelitian Hariani Santiko berjudul “Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit” yang terhimpun dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi AMERTA Vol. 30, No. 2, Desember 2012, mengungkapkan, Majapahit banyak meninggalkan bangunan suci lainnya yang merupakan sisa sarana ritual keagamaan. Di samping candi, terdapat pula pemandian suci patirthan dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu gerbang. Candi-candi pada masa Majapahit kebanyakan bersifat agama Śiwa Hindu dan ada pula beberapa candi yang bercorak Buddha. Sifat keagamaan bangunan-bangunan suci ini dapat ketahui dari ciri-ciri arsitektural, jenis arca yang ditinggalkan, serta dukungan bukti data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakertagama, Kakawin Sutasoma, Kakawin Arjunawiwaha, Pararaton, dan beberapa keterangan yang didapat dari juga Sejarah Kerajaan Kristen Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit Sejarah Hidup Gajah Mada, Mahapatih Majapahit, & Isi Sumpah Palapa Sejarah Hidup Hayam Wuruk Fakta Raja Majapahit & Masa Kejayaan Toleransi Agama di Majapahit Hery Santosa dalam riset bertajuk “Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan Majapahit” menuliskan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat Majapahit juga diwarnai oleh hal-hal yang bersifat keagamaan. Agama memiliki fungsi dan peran sebagai pengendali jarak sosial, pemberi fenomena integrasi dan menumbuhkan rasa toleransi antar warga. Kerajaan memberi pengakuan dan kesempatan yang sama terhadap tokoh-tokoh agama untuk duduk dalam pemerintahan. Adanya satu bangunan suci candi yang memiliki dua atau lebih sifat keagamaan, merupakan bukti dari integrasi sosial dan toleransi dalam bidang agama. Bukan hanya bagi pemeluk Hindu atau Buddha, melainkan juga umat muslim karena penganut agama Islam sudah ada di zaman Majapahit sejak era Hayam Wuruk diduga sudah ada yang memeluk Islam. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya pemakaman muslim di Desa Tralaya, Trowulan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan di pemakaman Islam tersebut ada yang menunjukkan angka tahun 1203 Saka atau 1281 Masehi. Selain itu, tulis Dukut Imam Widodo dalam Sidoardjo Tempo Doeloe 2013, terdapat nisan yang tergurat angka 1533 Saka atau 1611 seiring semakin menguatnya pengaruh Islam dan kemunculan Kesultanan Demak, kejayaan Majapahit dan pamor Hindu-Buddha pun kian meluruh. Hingga akhirnya, Kemaharajaan Majapahit mengalami keruntuhan abad ke-16 juga Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja Sejarah Perang Paregreg Awal Runtuhnya Kerajaan Majapahit Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda Penyebab, Lokasi, Dampak Candi-Candi Peninggalan Majapahit Cukup banyak candi peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit, baik candi yang bercorak Hindu maupun Buddha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut Candi Tikus Candi Sukuh Candi Bajang Ratu Candi Wringin Lawang Candi Jabung Candi Brahu Candi Pari Candi Surawana Candi Wringin Branjang Candi Minak Jinggo Candi Rimbi Candi Kedaton Desa Ngetos Baca juga Sejarah Keruntuhan Kerajaan Majapahit & Prasasti Peninggalannya Sejarah Majapahit Penyebab Runtuhnya Kerajaan & Daftar Raja-Raja Sejarah Kerajaan Majapahit Kekuatan Militer dan Persenjataan - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Agung DH
Berdasarkan riwayat kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara, tuliskan minimal tiga fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam Tiga fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan1 Pembangunan Candi Borobudur juga melibatkan para pemeluk agama Hindu di wilayah Kedu. Candi Borobudur juga dikelilingi oleh banyak candi Hindu, seperti Selogriyo, Gunung Wukir, Gunung Sari, dan Sengi. 2 Wajah toleransi juga terlihat pada salah satu relief Karmawibangga di kaki Candi Borobudur. Relief ini menggambarkan tokoh-tokoh agama memberi wejangan dan melakukan tapa. Tidak semua dari mereka biksu, ada juga pendeta Siwa dan Perkawinan antaragama. Contohnya adalah perkawinan Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Siwa dan Pramodawardhani dari Wangsa Sailendra yang beragama Buddha lupa komentar & sarannyaEmail nanangnurulhidayat terus OK! 😁
Memasuki 2022, muncul berbagai peristiwa yang semakin menunjukkan rapuhnya relasi beragama di Indonesia. Kita mendengar kabar penendangan sesajen di Gunung Semeru, Jawa Timur, pelarangan perayaan Natal oleh warga di Lampung, hingga penolakan pembangunan tempat ibadah umat minoritas seperti pura di Bekasi dan gereja di Surabaya yang butuh satu dekade lebih untuk mendapat titik terang. Sepanjang 2020, Setara Institute juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia. Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas. Mengapa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan terus-terusan terjadi? Dalam riset saya, saya berargumen bahwa selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia HAM di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama. Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamannya; ini belum cukup. Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan. Kegagalan multikulturalisme Multikulturalisme adalah langkah politik akomodasi yang dilakukan negara dan/atau kelompok mayoritas bagi ekspresi budaya minoritas – entah ras, etnisitas, kewarganegaraan, atau agama. Misalnya, mereka mendapat dukungan atas keyakinan dan kebiasaan kelompok tersebut yang berbeda dari kelompok mayoritas. Negara juga menyesuaikan perangkat hukum dan aturan yang ada sehingga warga minoritas dapat tetap mengekspresikan identitas budaya mereka. Sekilas, multikulturalisme memang terdengar sebagai pendekatan yang ideal digunakan untuk mengelola keberagaman. Namun, ada hal yang masih terlewat dalam pendekatan ini. Menurut para ahli, multikulturalisme hanya fokus memenuhi hak kultural dari kelompok-kelompok yang ada tanpa membangun keterhubungan dan keterikatan interconnectedness di antara mereka. Ini menciptakan “sangkar budaya” cultural aviaries – suatu kelompok agama hanya akan berkumpul dengan sesamanya sekaligus menghindari konflik dengan kelompok berbeda. Pada akhirnya, ini memunculkan fragmentasi sosial dan keterpisahan antara kelompok minoritas dan mayoritas minority separateness. Ini sangat terlihat dalam konflik pendirian tempat ibadah yang banyak dialami umat minoritas di Indonesia. Secara prinsip, tak ada larangan bagi umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, yakni adanya dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang. Ini adalah contoh aturan dengan semangat multikulturalisme – umat minoritas diberi jalan untuk membangun tempat ibadah. Sayangnya, syarat dukungan warga sekitar berarti bahwa pembangunan tempat ibadah suatu umat seringkali hanya berjalan lancar jika dilakukan di lingkungan yang dipenuhi sesama umat agama tersebut. Sejumlah jemaat dihalangi petugas saat akan melakukan kebaktian di depan Gereja Kristen Indonesia GKI Yasmin. Pembangunan gereja tersebut mandek dalam ketidakjelasan selama 15 tahun karena dianggap menyalahi IMB dan adanya penolakan dari masyarakat. ANTARA FOTO Di sini, setiap kelompok seakan mendapat hak-haknya, selama berada dalam “wilayah kultural” masing-masing dan tidak terjadi “saling senggol”. Ini tidak sejalan dengan hak kebebasan beragama dan hak kultural lainnya yang bersifat penuh dan seluas-luasnya. Umat beragama harusnya bisa bebas beribadah di mana pun, meski mereka adalah umat minoritas di tengah lingkungan umat mayoritas. Tanpa keterhubungan dan keterikatan antara para kelompok, resistensi dan penolakan antar kelompok akan terus ada dan tidak akan pernah tergerus – seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.” Resistensi ini kemudian menjadi semakin berbahaya dan dapat berkembang menjadi kekerasan jika di antara para kelompok tersebut ada “covert animosity” atau rasa memusuhi yang disembunyikan. Hasil studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia LSI dan Wahid Foundation sekitar 5 tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa 59,9% dari responden di 34 provinsi mengaku memiliki kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, khususnya pada non-Muslim, etnis Tionghoa, komunis, dan sebagainya. Read more Obsesi Indonesia untuk menjaga ketertiban sosial menjadi penghalang perlakuan setara terhadap pemeluk agama minoritas Interkulturalisme arah baru relasi beragama Atas dasar tersebut, kita perlu menggunakan pendekatan baru yang tak hanya mengakomodasi kelompok minoritas, tapi juga membangun keterhubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Hal ini terjawab oleh pendekatan “interkulturalisme”. Pendekatan interkulturalisme tidak hanya mengakomodasi perbedaan tapi juga menjembataninya. Sehingga, antara mereka yang berbeda dapat saling terkoneksi dan saling menyatu menjadi masyarakat yang kohesif. Pada praktiknya, prinsip tersebut dapat berwujud kebijakan yang mendorong inter-dialog, keterhubungan, dan keterikatan antara berbagai kelompok yang berbeda. Harapannya, ini dapat menghilangkan segala kondisi yang bisa memunculkan segregasi sosial. Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, melalui kurikulum sekolah yang memfasilitasi terbangunnya inter-dialog dan pemahaman bersama antar kelompok agama yang berbeda, atau melalui penetapan kuota tertentu yang menjamin kemajemukan suatu populasi – baik di sekolah, perkantoran, atau pemukiman. Pendekatan interkulturalisme dapat berwujud kurikulum sekolah yang inklusif serta mendorong dialog dan keterikatan antar kelompok beragama. ANTARA FOTO Singapura melakukan ini melalui Ethnic Integration Policy yang menetapkan kuota minimal untuk etnis minoritas dalam setiap area pemukiman. Kebijakan ini sudah berjalan sejak 1989. Selain itu, alih-alih menetapkan syarat yang bisa mempersulit rencana pendirian tempat ibadah, pemerintah justru harus mendorong terbangunnya fasilitas peribadatan dari berbagai kelompok agama di setiap lingkungan masyarakat – apa pun agama mayoritas di wilayah tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, dengan menghilangkan syarat dukungan dari masyarakat sekitar seperti yang terdapat di aturan yang berlaku saat ini. Pada intinya, melalui pendekatan interkulturalisme, masyarakat didorong untuk tidak sekadar sadar atau “mengizinkan” adanya keberagaman. Jika negara serius ingin menjadikan tahun 2022 sebagai “Tahun Toleransi”, serta menjadikan Indonesia sebagai kiblat kerukunan beragama di dunia, masyarakat harus didorong untuk hidup di dalam keberagaman tersebut dan menjadikan keberagaman yang ada sebagai bagian dari diri kita masing-masing. Hanya dengan begitu kita dapat menjadikan bhinneka tunggal ika tidak hanya sebagai motto kosong atau mantra toleransi yang hanya di level permukaan, tapi benar-benar sebagai napas hidup. Bahwa kita memang berbeda, tapi perbedaan itu terajut, terkoneksi, dan menyatu di antara kita.
Indonesia adalah salah satu negara dengan keragaman etnis dan agama yang sangat kaya. Meski begitu, banyak orang yang masih belum mengerti betul tentang toleransi beragama di Indonesia. Hal ini bisa dipahami mengingat sejarah Indonesia yang penuh dengan konflik dan perbedaan pandangan. Namun, di balik itu semua, ada banyak fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan. Dalam artikel ini, kita akan mengungkap beberapa fakta tersebut dan mengapa Indonesia bisa tetap menjadi negara yang harmonis meski banyak perbedaan yang Pancasila sebagai Dasar NegaraIndonesia adalah salah satu negara yang memiliki dasar negara yang sangat kuat. Pancasila sebagai dasar negara telah menjadi pedoman bagi semua orang Indonesia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah gotong royong atau kerja sama. Nilai ini sangat penting dalam membangun harmoni antar masyarakat yang berbeda-beda.“Pancasila mengajarkan kita untuk saling menghargai dan saling membantu. Oleh karena itu, meski kita memiliki perbedaan agama, kita bisa tetap hidup berdampingan dengan damai,” kata Simbolon, seorang pengamat ini bisa terlihat dari banyaknya kegiatan kerja sama antar agama di Indonesia. Misalnya, saat perayaan Natal, banyak tempat ibadah Kristen membuka pintunya untuk umum tanpa memandang agama. Begitu pula saat perayaan Idul Fitri, umat Muslim seringkali mengundang tetangga non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Inilah salah satu bukti nyata adanya toleransi beragama di Kerajaan memfasilitasi Pembangunan Tempat IbadahDi Indonesia, pembangunan tempat ibadah sangatlah mudah. Ini bisa terlihat dari banyaknya gereja, masjid, vihara, dan pura yang tersebar di seluruh Indonesia tanpa adanya diskriminasi. Pemerintah dan masyarakat lokal berusaha memfasilitasi kegiatan keagamaan dengan memberikan dukungan finansial dan memperbolehkan pembangunan tempat ibadah di berbagai daerah.“Di sini, saya tidak merasa diskriminasi karena beragama Hindu. Bahkan, kerajaan selalu memberikan dukungan finansial untuk pembangunan pura-pura di Bali,” kata I Gusti Putu, seorang pemuka agama Hindu di ini juga terlihat dari banyaknya kegiatan kerja sama antar pemimpin agama dalam membangun tempat ibadah dan melakukan kegiatan sosial bersama. Misalnya, pada tahun 2018, sekelompok pemimpin agama di Jakarta bersama-sama membangun rumah bagi para korban bencana alam. Mereka juga seringkali mengadakan dialog dan berdiskusi tentang cara terbaik untuk membangun toleransi beragama di Adanya Peran Lembaga Agama dalam PemerintahanDi Indonesia, lembaga agama masih memiliki peran yang cukup penting dalam pemerintahan. Meski bukan sebagai lembaga resmi, namun lembaga agama seringkali diundang untuk memberikan masukan atau pendapat dalam hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.“Kami seringkali diundang untuk memberikan masukan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan agama. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat memperhatikan pendapat kami sebagai pemimpin agama,” kata KH. Ma’ruf Amin, seorang ulama Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia MUI.Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia sangat memperhatikan peran lembaga agama dalam membangun toleransi beragama di Indonesia. Meski begitu, lembaga agama juga harus tetap bersikap netral dan tidak memihak pada satu pihak saja dalam menjalankan Adanya Kegiatan Sosial Bersama antar Umat BeragamaSalah satu bukti nyata adanya toleransi beragama di Indonesia adalah banyaknya kegiatan sosial bersama antar umat beragama. Misalnya, saat perayaan Natal, banyak umat Kristen mengundang tetangga muslim untuk berbagi kegembiraan. Begitu pula saat perayaan Idul Fitri, banyak umat Muslim yang mengundang tetangganya yang beragama Kristen untuk berbuka puasa bersama.“Saya merasa senang bisa berbuka puasa bersama teman-teman non-Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa kita bisa saling menghargai dan merayakan perbedaan,” kata Ahmad, seorang remaja Muslim di ini juga terlihat dari banyaknya kegiatan sosial bersama yang diadakan oleh lembaga-lembaga agama. Misalnya, pada saat bencana alam terjadi, banyak lembaga agama yang bekerja sama untuk memberikan bantuan dan dukungan bagi para Adanya Kebijakan yang Mendorong Toleransi BeragamaSelain faktor-faktor di atas, pemerintah Indonesia juga aktif dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mendorong terciptanya toleransi beragama di masyarakat. Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan memberikan perhatian khusus bagi daerah-daerah yang memiliki kerawanan konflik agama.“Kami selalu berupaya untuk menjaga harmoni antar umat beragama di daerah-daerah yang rawan konflik. Salah satu caranya adalah dengan memberikan dukungan finansial dan membangun dialog antar masyarakat,” kata Menteri Dalam Negeri Indonesia, Tito ini terbukti dengan menurunnya kasus konflik agama di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Meski masih ada beberapa kasus yang terjadi, namun pemerintah dan masyarakat sudah bersama-sama berusaha untuk menyelesaikannya dengan Adanya Kehidupan Beragama yang Harmonis di MasyarakatDi Indonesia, kehidupan beragama yang harmonis sudah menjadi hal yang biasa. Meski ada perbedaan agama, namun masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini bisa terlihat dari kegiatan keagamaan yang diadakan di berbagai tempat, seperti pasar ramadhan, perayaan natal, dan ibadah hari raya keagamaan lainnya.“Meski saya beragama Kristen, saya selalu merayakan Idul Fitri bersama teman-teman muslim. Kita saling menghargai dan merayakan perbedaan. Itulah kehidupan beragama yang harmonis di Indonesia,” kata Yosef, seorang pengusaha di ini bisa terjadi karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman. Mereka tahu bahwa setiap orang memiliki hak untuk beragama dan harus saling menghargai satu sama lain. Ini menjadi salah satu faktor yang membuat Indonesia tetap menjadi negara yang harmonis meski banyak perbedaan yang KesimpulanDari beberapa fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki toleransi beragama yang sangat kuat. Meski banyak perbedaan yang ada, namun masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini bisa terjadi karena adanya dasar negara yang kuat, fasilitasi pembangunan tempat ibadah, peran lembaga agama dalam pemerintahan, kegiatan sosial bersama antar umat beragama, kebijakan yang mendorong toleransi beragama, dan kehidupan beragama yang harmonis di masyarakat.“Toleransi beragama adalah kunci keberhasilan masyarakat Indonesia. Kita harus terus membangun dan memperkuat toleransi ini agar Indonesia tetap menjadi negara yang harmonis dan damai,” kata Simbolon.
fakta yang mencerminkan adanya toleransi beragama dalam kerajaan